First Adsense

Dina yang (Bukan) Seperti Dina

 Dina. Ini bukan kisah tentang Dina. Anak perdesaan dengan kepribadian aneh (aneh yang dimaksud adalah aneh yang tidak biasa). Ceria, aktif, dan bisa bergaul dengan siapapun adalah kepribadian Dina yang bisa diketahui ketika seseorang ngobrol lebih dalam dengannya.  


Satu hal yang Dina sukai adalah menuliskan sesuatu yang ia rasakan. Dikala zaman mengalami perkembangan yang amat pesat, Dina masih suka menulis di buku hariannya. Walaupun ia tidak rutin menuliskan kesehariannya, Dina adalah pengarang yang cukup baik. Ia pernah membuat esai panjang hanya dalam waktu 15 menit. Tanpa riset dari buku yang memakan waktu berjam-jam, ia keluarkan isi otaknya dan berhasil jadi juara pada Semarak Bulan Bahasa di sekolahnya. Tak ayal, Dina pun dijuluki sebagai makhluk yang puitis. Bukan karena ia suka membuat puisi (karena ia merasa tak pandai membuatnya), tetapi karena perbendaharaan katanya yang di luar rata-rata orang lainlah yang membuatnya digelari puitis.

Dina adalah orang yang tidak pemilih dalam makanan dan minuman yang ia konsumsi. Ia bisa makan satu menu tanpa bosan sama sekali, selama beberapa pekan. Minuman? Cukup air putih dingin saja yang menjadi kesukaannya. Tapi kalau ditawari minuman lain, Dina bukanlah makhluk yang akan menolaknya.

Tapi Dina yang seperti itu sudah tidak bisa ditemukan lagi. Dina kehilangan keceriaannya yang secara cuma-cuma ia bagikan kepada orang lain. Dina nampak kurus dan sayu, dengan tatapan mata orang yang mengalami penyiksaan berkepanjangan. Makanan dan minuman yang ia konsumsi berkurang, nampak dari posturnya yang semakin kurus dan mengkhawatirkan. Sang Dewi (bagi beberapa orang yang menyukainya karena dia adalah protagonis bagi mereka) adalah makhluk yang berbeda 180°. Dan yang membuatnya amat berbeda adalah...

Dina yang tak bisa menulis lagi. Ya, isi kepala yang biasanya langsung bisa diterjemahkan dan seencer sirup orson (jadul banget ya pakai kata orson) ketika dituangkan dalam untaian kata mendadak tak berfungsi seperti mesin uap yang hampir padam. Ah apakah mesin uap adalah benda yang pas untuk menggambarkannya? Entahlah, sepertinya lebih buruk dari sekadar mesin uap tua yang sekarat itu. Bahkan isi kepala Dina pun tidak mampu diterjemahkan olehnya sendiri, sang empu yang membersamai kepala selama lebih dari dua dekade. Apakah ganti kepala adalah solusinya? Sayangnya manusia bukanlah objek yang onderdilnya bisa diservis ataupun diganti pada bengkel otomotif.  Makhluk yang dikenal ceria itupun sudah lupa kapan ia memberikan senyum yang tulus pada orang lain. Senyum pahit? Ah masih ada manisnya walaupun pahit. Dina lupa cara tersenyum. Dina tatapannya kosong bak terkena cuci otak oleh mesin paling canggih. Tangannya gemetar acap kali ia berbicara dengan orang lain. Getaran yang bahkan bisa dilihat dengan jelas oleh orang lain. Padahal, Dina adalah makhluk yang paling cerewet ketika ia mendapatkan kesempatan untuk berbicara di depan keramaian. Seringkali Dina adalah pusat dari perhatian semua orang. Bahkan untuk sekadar berbicara empat mata, ia adalah ratu yang seakan-akan mampu menebak pembicaraan lawan dialognya. Sang Ratupun adalah sosok yang berbeda setelah sekian lama tak berjumpa dengan temannya. Dina pun tahu, bahwa beberapa temannya menyadari perbedaan mencolok yang ada padanya ketika ia bercengkrama dengan orang lain. Senyumnya masih sama. Wujudnya masih sama. Tapi, ia kehilangan ruhnya sebagai makhluk yang terbiasa menghadapi banyak orang. "Halo, Din. Ngomong dong...", "Mau ngomong apaan? Aku bingung...." Dina yang dikenal teman-temannya tidak pernah mengucapkan pernyataan kebingungan, bahkan sesederhana chit chat ataupun basa-basi dengan orang lain. Dina yang sekarang adalah manusia yang dipenuhi dengan ketakutan untuk melakukan sesuatu. Tatapannya nanar. Dia mencoba senyum, tapi kesedihannya tetap tersirat sekuat apapun ia berusaha menyembunyikannya.  
Semoga Dina yang dikenal teman-temannya bisa kembali seperti sedia kala.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Angels Like You

  Mmm, mmm, mmm Flowers in hand, waiting for me Every word in poetry Won't call me by name, only baby The more that you give, the less t...