"Sesusah itu ya mencari senyum yang tulus kek biasanya?" Nanda mengernyitkan dahi karena pertanyaan yang menurutnya sederhana itu belum terjawab. Lia, temannya yang muncul setelah menjalin hubungan dengan orang terkasih, adalah gerangan yang membuat Nanda bertanya-tanya. "Apa bener orang itu perlu banyak topeng untuk tetap bertahan? Haruskah semua yang ada harus terukur dan masuk ke nalar?" Seperti biasa, berpusing-pusing ria dengan pertanyaan aneh adalah kebiasaan Nanda yang 29 tahun ini ia lakukan.
Nanda adalah salah satu dari sekian banyak manusia yang kehilangan senyum tulusnya. Dicabik oleh orang yang mendekatinya hanya untuk mengorek ilmunya, lalu pergi dengan pengkhianatan pada ujungnya. Dilukai oleh orang tua yang secara pola pikirpun sudah amat kolot dan keras kepala, sampai-sampai perang dunia akan pecah ketika perdebatan orang tua dan anak ini tercipta. Lebih parahnya, Nanda sudah kehilangan hasrat untuk mencinta, walaupun hatinya memang teramat butuh cinta. "Sesimpel senyum saja, akupun tak bisa tulus melakukannya. Apakah ini yang dinamakan putus asa?".
"Karena dia telah kehilangan ayah ibunya, aku bertekad untuk tetap menjalin hubungan dengannya, disamping banyak momen yang membuatku untuk tetap mencinta." Mahda mengungkapkan alasannya untuk tetap menjalin cinta dengan Ria, gadis asal Marijoa yang sudah ia cintai sejak ia masih remaja. "Bahkan ketika ada masalahpun, aku selalu teringat akan perjuangannya ketika memberiku baju batik yang indah. Aku memang mudah tersentuh ketika menerima hadiah." Senyum merekah ketika Mahda memberikan detail atas kisah cintanya. Ya, sebuah senyum. Iwan, sang teman dekatnya menjadi pendengar setia dari segala ocehan Mahda. Iwan adalah laki-laki yang harus kehilangan belahan jiwanya karena sebuah kecelakaan. Rasa cinta itu masih tetap bersemayam, namun ia tetap bersedia untuk mendengarkan kisah Mahda. "Tapi, Wan, keknya kamu harus segera mencari pengganti dia deh. Kasian dirimu udah terpaksa sendiri karena keadaan." Senyum yang tulus itupun tetap diungkapkan. Namun, tiada yang tahu apa yang Iwan rasakan setelah Mahda mengucapkan kalimat yang tak perlu disampaikan tersebut.
"Kamu tuh kalau ada apa-apa cerita aja. Kalau memang sulit untuk cerita, cari aja sirkel terdekatmu, orang yang setidaknya bisa kamu ajak berbagi." Atun mendapatkan pesan menohok dari Siska. Bagi orang yang berpendapat bahwa teman adalah orang yang dikenal, Siska menilai bahwa Atun memiliki terlalu banyak teman dekat. Seraya makan ramen, Atun memikirkan nasihat teman berbulan-bulan tidak ia temui itu. "Jadi begini, kamu keknya berbakat jadi pembohong ulung ya. Kamu tuh lho.. kalau buat skenario bener-bener sesuai naskah dramamu." Atun tersedak, ketika ia tiba-tiba teringat kalimat yang diucapkan oleh Dinda, 7 tahun yang lalu. "Hah, apakah pembohong andal adalah orang yang bisa memendam masalah hidupnya? Gini amat sih kehidupanku. Dituduh yang enggak-enggak, sendirian salah.. bertemanpun juga salah." Gumam Atun yang membuat ia lupa pesan Siska untuk mencoba percaya dengan orang lain.
"Kamu bener kok, dipatahkan oleh harapan memang rasanya sakit." Ungkap Dita yang kecewa dengan perlakuan teman-temannya. Nanda, yang kebingungan untuk membalas pesan singkat yang sama sekali tidak singkat dari Dita, mengalami gejolak. "Lho kan aku bener banget", "Mungkin itu yang kurasakan, rasain lu", "Mampus", "Sabar yak, hidup memang begitu". Topeng-topeng Nanda saling bersahut-sahutan dalam hati, membuat keadaan menjadi semakin runyam. "Masih ada yang mau disampaikan lagi, Dit?" tegasnya. Sembari berusaha untuk sembuh dari segala trauma yang ia alami, Nanda sedang berjuang untuk bisa mendengarkan dengan baik lagi. "Udah kok makasih ya, kasih aku waktu sendiri dulu." Tutup Dita. Penutupan yang mengerikan layaknya film horor.
"Tut.. tut.. tut...." Detak jantung Hana semakin melemah. Ia sudah tidak sadarkan diri selama tiga hari. Hana adalah pejalan kaki yang terkena imbas dari kecelakaan dahsyat yang melibatkan bus pariwisata dengan kereta api. "Dok, pasien korban kecelakaan terakhir sudah sangat kritis." Ucap suster seraya mengecek kondisi Hana yang kian melemah. Hana adalah penjual koran dengan asa yang tinggi. Ia mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya yang kekurangan, walaupun ia diusir dari keluarganya sendiri. "Kumpulin aja dulu deh.. ntar kalau udah cukup taruh aja di bawah pintu rumah." Ungkapnya disertai dengan senyum manis dengan lesung pipit yang merekah. Namun, asa itu sepertinya akan sirna. Bahkan dalam keadaan sekarat pun, Hana tidak ditemani oleh keluarganya. "Tuuuuuuuuuuut." Indikator pada alat deteksi jantung sudah membentuk garis datar. Hana meregang nyawa dengan asa yang ia pelihara
Sementara itu, di planet yang lain.
Asa menangis tersedu-sedu. "Apakah aku layak untuk dilahirkan dan dipelihara oleh manusia? Lihatlah, mereka menderita karena aku memberikan secercah jalan untuk berharap. Bahkan mereka bergantung denganku untuk terus berjuang. Ada juga yang terus tersenyum walaupun hatinya hancur, hanya karena mereka menggendong namaku. Betapa jahatnya aku pada mereka." Bahkan Asa pun menyesal untuk bersemayam di dalam keinginan manusia.. Apakah kalian peduli dengan Asa? Mungkin tidak, mungkin saja Asa tidak benar-benar ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar