First Adsense

Kiki

 Kiki adalah penikmat transisi waktu harian. Ia adalah morning people yang tidak takut terbakar kulitnya untuk sekadar bercengkrama dengan teriknya matahari siang hari. Kiki adalah representasi anak muda yang aneh dengan waktu pagi dan siang. Pagi adalah waktunya  menyapa semua benda yang ada di sekitarnya. Di pagi hari, Kiki lebih memilih untuk ngobrol dengan ikan, kucing, ataupun burung yang setiap hari berkicau mengalahkan suara radio yang diputar tetangga Kiki. Kalaupun ada tikus, mungkin Kiki ajak ngobrol karena ia adalah gadis yang ingin menyapa semua makhluk hidup di sekitarnya. Awal yang baik adalah penentu kebaikan berikutnya adalah kalimat yang membakar Kiki untuk menjadi makhluk perfeksionis ketika pagi datang. Ya, pagi adalah awal dari sebuah hari dan Kiki adalah pecinta pagi hari.

Kiki adalah pemuja siang hari pula. Agak aneh memang, ada gadis yang menyukai berjemur di tengah siang bolong. Apalagi, tempat tinggal Kiki bukanlah pegunungan Alpen yang suhu siangbharinya saja dingin. Kiki tinggal di sebuah daerah pinggiran kota yang (sepertinya) bukanlah perdesaan. Dikala manusia yang lain memilih untuk berteduh, Kiki malah sibuk menyapa teriknya matahari. "Barangkali ia adalah pecinta matahari kali yaaa..." ungkapan itu mungkin muncul manakala orang lain melihat romantisme Kiki bersama matahari siang hari. Selain ngobrol dengan matahari, ia adalah gadis yang menyukai minuman dingin. Es teh, es jeruk, es krim, jus dingin, ataupun es batu (mungkin), akan ia jadikan pelepas dahaga ketika ia menikmati suasana siang hari. Sempat salah seorang teman Kiki bertanya, mengapa ia begitu menyukai beejemur di siang hari, padahal ia punya rumah untuk berteduh dan mengerjakan hal yang lebih 'berguna' daripada berjemur. Jawaban dari Kiki membuat temannya menyadari bahwa Kiki benar-benar orang aneh. Kiki pun langsung membalasa pertanyaan dari temannya secepat ia menghabiskan seperempat liter (kalik) es teh yang tersisa di plastik.. "kalaupun di sekitar rumahku ada padang savana yang luas, aku lebih memilih untuk mendirikan bivak sederhana untuk tinggal di sana daripada tinggal di rumah. Aku cinta berjemur di siang hari". Benar-benar orang yang aneh.

Apakah mencintai pagi dan siang sudah cukup bagi Kiki? Tentu tidak. Kiki ternyata juga mencintai sore hari. Akan tetapi, dikala kebanyakan manusia menikmati senja sambil minum kopi atau merokok, bahkan melakukan romantisasi dengan pasangannya, Kiki malah melakukan hal yang benar-benar di luar dugaan. Dia tidur. Aneh bukan? Sepertinya energi Kiki yang dibutuhkan untuk mengarungi hari telah habis di waktu sore. Ya, dia memilih untuk terlelap. Satu jam? Tidak. Dua jam? Sepertinya tidak juga. Kiki bahkan tidur sampai fajar terbit. Kiki mencintai sore dengan caranya yang aneh. Semua ia lakukan karena satu alasan. Ia menghindari malam.

Sebenarnya, Kiki hanya mencintai waktu pagi, siang, dan sore. Ia sangat membenci malam. Baginya, malam adalah kumpulan kebencian yang harus dimusnahkan. Selain itu, semua rasa sepi muncul ketika malam tiba. Malam juga menjadi pemisahnya dengan matahari, makhluk yang amat dicintainya.

Kiki yang sekarang menjadj pemuja malam. Genap 3 tahun ia menjadi akrab dengan gelapnya malam. Sebuah keakraban yang ganjil manakala orang lain memperhatikan tingkah laku Kiki. Periang yang cenderung hiperaktif, namun jatuh cinta dengan heningnya malam. Apakah Kiki jatuh cinta dengan malam? Kalau dilihat dari gelagatnya, ia bukan lagi kasmaran dengan malam. Ia menjiwai sosok bernama malam. Keakrabannya dengan malam membuat Kiki mempunyai kepribadian baru. Ia adalah orang yang berbeda ketika malam mulai terbit. Bahkan, orang yang dekat dengan Kiki bisa saja tidak mengenali Kiki yang akrab dengan malam ini.  Kiki melakukan segala hal yang manusia lain lakukan ketika pagi, siang, ataupun sore hari. Membersihkan rumah, membereskan dirinya sendiri, bahkan membersihkan lingkungan sekitarnya ia lakukan pada malam hari. Ya, Kiki adalah makhluk aneh yang mencintai harinya sendiri.

Dina yang (Bukan) Seperti Dina

 Dina. Ini bukan kisah tentang Dina. Anak perdesaan dengan kepribadian aneh (aneh yang dimaksud adalah aneh yang tidak biasa). Ceria, aktif, dan bisa bergaul dengan siapapun adalah kepribadian Dina yang bisa diketahui ketika seseorang ngobrol lebih dalam dengannya.  


Satu hal yang Dina sukai adalah menuliskan sesuatu yang ia rasakan. Dikala zaman mengalami perkembangan yang amat pesat, Dina masih suka menulis di buku hariannya. Walaupun ia tidak rutin menuliskan kesehariannya, Dina adalah pengarang yang cukup baik. Ia pernah membuat esai panjang hanya dalam waktu 15 menit. Tanpa riset dari buku yang memakan waktu berjam-jam, ia keluarkan isi otaknya dan berhasil jadi juara pada Semarak Bulan Bahasa di sekolahnya. Tak ayal, Dina pun dijuluki sebagai makhluk yang puitis. Bukan karena ia suka membuat puisi (karena ia merasa tak pandai membuatnya), tetapi karena perbendaharaan katanya yang di luar rata-rata orang lainlah yang membuatnya digelari puitis.

Dina adalah orang yang tidak pemilih dalam makanan dan minuman yang ia konsumsi. Ia bisa makan satu menu tanpa bosan sama sekali, selama beberapa pekan. Minuman? Cukup air putih dingin saja yang menjadi kesukaannya. Tapi kalau ditawari minuman lain, Dina bukanlah makhluk yang akan menolaknya.

Tapi Dina yang seperti itu sudah tidak bisa ditemukan lagi. Dina kehilangan keceriaannya yang secara cuma-cuma ia bagikan kepada orang lain. Dina nampak kurus dan sayu, dengan tatapan mata orang yang mengalami penyiksaan berkepanjangan. Makanan dan minuman yang ia konsumsi berkurang, nampak dari posturnya yang semakin kurus dan mengkhawatirkan. Sang Dewi (bagi beberapa orang yang menyukainya karena dia adalah protagonis bagi mereka) adalah makhluk yang berbeda 180°. Dan yang membuatnya amat berbeda adalah...

Dina yang tak bisa menulis lagi. Ya, isi kepala yang biasanya langsung bisa diterjemahkan dan seencer sirup orson (jadul banget ya pakai kata orson) ketika dituangkan dalam untaian kata mendadak tak berfungsi seperti mesin uap yang hampir padam. Ah apakah mesin uap adalah benda yang pas untuk menggambarkannya? Entahlah, sepertinya lebih buruk dari sekadar mesin uap tua yang sekarat itu. Bahkan isi kepala Dina pun tidak mampu diterjemahkan olehnya sendiri, sang empu yang membersamai kepala selama lebih dari dua dekade. Apakah ganti kepala adalah solusinya? Sayangnya manusia bukanlah objek yang onderdilnya bisa diservis ataupun diganti pada bengkel otomotif.  Makhluk yang dikenal ceria itupun sudah lupa kapan ia memberikan senyum yang tulus pada orang lain. Senyum pahit? Ah masih ada manisnya walaupun pahit. Dina lupa cara tersenyum. Dina tatapannya kosong bak terkena cuci otak oleh mesin paling canggih. Tangannya gemetar acap kali ia berbicara dengan orang lain. Getaran yang bahkan bisa dilihat dengan jelas oleh orang lain. Padahal, Dina adalah makhluk yang paling cerewet ketika ia mendapatkan kesempatan untuk berbicara di depan keramaian. Seringkali Dina adalah pusat dari perhatian semua orang. Bahkan untuk sekadar berbicara empat mata, ia adalah ratu yang seakan-akan mampu menebak pembicaraan lawan dialognya. Sang Ratupun adalah sosok yang berbeda setelah sekian lama tak berjumpa dengan temannya. Dina pun tahu, bahwa beberapa temannya menyadari perbedaan mencolok yang ada padanya ketika ia bercengkrama dengan orang lain. Senyumnya masih sama. Wujudnya masih sama. Tapi, ia kehilangan ruhnya sebagai makhluk yang terbiasa menghadapi banyak orang. "Halo, Din. Ngomong dong...", "Mau ngomong apaan? Aku bingung...." Dina yang dikenal teman-temannya tidak pernah mengucapkan pernyataan kebingungan, bahkan sesederhana chit chat ataupun basa-basi dengan orang lain. Dina yang sekarang adalah manusia yang dipenuhi dengan ketakutan untuk melakukan sesuatu. Tatapannya nanar. Dia mencoba senyum, tapi kesedihannya tetap tersirat sekuat apapun ia berusaha menyembunyikannya.  
Semoga Dina yang dikenal teman-temannya bisa kembali seperti sedia kala.










Angels Like You

  Mmm, mmm, mmm Flowers in hand, waiting for me Every word in poetry Won't call me by name, only baby The more that you give, the less t...