First Adsense

Caption Instagram Edisi Kesekian

Lagi pada masanya suka kopas caption di instagram sih, buat ngisi halaman biar gak dipenuhi sarang laba-laba

Lingkungan mempengaruhi jiwa kompetisi, literasi mempengaruhi pemikiran pribadi, dan orientasi mempengaruhi cara bertindak . . . ya, mungkin foto ini menjadi saksi bisu jiwa kompetisi saya yang masih menggebu, namun semua nampak memudar seiring berjalannya waktu. setelah melalui 'riset' yang cukup panjang, ada beberapa faktor yang membuatnya pudar.. ya, barangkali mengenai lingkungan yang berubah secara dinamis, masih minimnya literasi yang ditambah, dan orientasi.. . . hmm bukan menyesalkan masa lalu yang nampaknya indah, tapi tentang cara untuk bangkit dan melampauinya. ya, perlunya memperbaiki lingkungan untuk menjaga hawa berkompetisi secara lebih luas, menambah literasi untuk membentangkan cakrawala ilmu Allah yang sangat luas, dan orientasi yang lebih terarah. . . semoga dalam momentum bulan suci Ramadhan ini, saudara semua bisa mengembangkan diri dengan lebih baik dan menjadi manusia yang lebih bermanfaat untuk sekitar . .

Sehat itu Mahal Yak


         Akhirnya setelah sepekan lebih badan drop, biasalah kalau sudah ndredek gegara demam memang suka lama sembuhnya, Alhamdulillah sudah sembuh walaupun pusing-pusing sedikit wkwkk... dari situ jadi nyadar sih, lebih tepatnya semakin sadar, bahwa sehat itu nikmat yang mahal banget. Sampai-sampai sering banget tuh mendengarkan kultum atau kajian yang isinya tentang nikmat yang sering dilupakan oleh makhluk bernama manusia, yaitu nikmat sehat. So, buat yang punya kesehatan yang prima, patut banget untuk disyukuri, apalagi yang punya kebiasaan sepele seperti makan gak teratur, suka begadang, jarang olahraga, mari diubah, aku juga berusaha mengubah sih walaupun tuntutan mahasiswa semester tua harus berjuang lebih ekstra supaya bisa lebih cepat lulus pada waktu yang singkat.. Aamiin.

Yah jadi ada rencana yang tertunda deh, ngerjain tugas yang agak numpuk, tapi mencoba menikmati dulu aja, jalani dulu yang penting tetep ada usaha buat menyelesaikan. Jaga kesehatan semuanya :)

Rantau 1 Muara: Pencarian Tempat Berkarya, Belahan Jiwa, dan Dimana Hidup Akan Bermuara

Rantau 1 Muara: Menjadi Hamba yang Mengabdi Kepada Tuhannya

Identitas Buku

Judul: Rantau 1 Muara

Penulis: Ahmad Fuadi

Genre: Novel

Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit: 2013

Tebal buku: xii+401 halaman

Nomor ISBN: 978-979-22-9473-6

Teks Ulasan 

        Novel Rantau 1 Muara adalah bagian dari trilogi Negeri 5 Menara, karya monumental dari Ahmad Fuadi. Alumnus Hubungan Internasional Unpad ini menciptakan sebuah novel dengan bahasa yang sederhana namun tetap memberikan makna yang mendalam. Trilogi ini seakan-akan membuktikan bahwa lulusan pondok pesantren juga mampu memperoleh cita-citanya dengan berbekal tiga mantra sakral dari kiainya di pondok. Terkhusus untuk Rantau 1 Menara ini menjelaskan cerita tokoh utama, yaitu Alif, melalui masa sulit sebagai fresh graduate perguruan tinggi hingga menemukan ujung dari perantauan yang ia lakukan.

        Novel ini menceritakan kisah Alif, seorang mahasiswa Unpad yang mewakili kampusnya menjadi delegasi di Kanada, mempunyai banyak tulisan yang dimuat oleh banyak media dan lulus sebagai mahasiswa terbaik. Dengan kondisinya tertsebut, normalnya banyak perusahaan akan tergiur merekrutnya sebagai karyawan. Namun, krisis moneter yang terjadi pada akhir tahun 90-an membuat lowongan pekerjaan sulit. Alif, yang pada waktu itu menjadi penulis artikel pada berbagai media, akhirnya tidak mendapatkan pemasukan karena media yang menerima artikelnya harus mengurangi tebal halaman koran sekaligus tidak menerima artikel dari Alif lagi. Karena keadaan keuangan yang sulit juga, Alif juga terpaksa berutang pada kartu kredit, dan menemui debt collector yang kejam. Keadaan yang sulit tersebut memaksanya untuk merantau ke Ibu Kota untuk mengadu nasib dengan tinggal di kontrakan kerabatnya.

    Motivasi untuk mencari pekerjaan dan bisa mengirimkan uang bulanan untuk sang ibu di kampungnya membuat Alif mencari pekerjaan. Akhirnya, ia diterima sebagai wartawan Majalah Derap yang dikenal vokal dan sempat dihentikan pergerakannya pada era Orde Baru. Di sana, ia bertemu dengan banyak orang yang punya watak unik, mulai dari Mas Aji Sang Pemimping Redaksi, Mas Malaka dengan gaya pakaian yang unik, dan Pasus, rekan kerja Alif dengan tingkah konyolnya. Bersama Pasus, Alif terlibat pengalaman menarik dalam meliput narasumber, mulai dari bertemu jenderal yang sangat sulit ditemui oleh media, hingga meliput di kamar jenazah.

     Menjadi wartawan Majalah Derap juga mempertemukan Alif dengan Dinara, gadis dengan gayanya yang gaul, supel, namun ternyata hafal Surat Yasin. Interaksi yang intens dengan Dinara membuat Alif tertarik menjadikan Dinara sebagai pendamping hidupnya. Dari kehidupan pascapernikahan tersebut, Alif semakin bersemangat untuk meraih cita-citanya bersama Dinara, terutama dalam berkelana mengelilingi dunia.

      Keinginan kuat Alif dan Dinara untuk melanjutkan studi membuat mereka berdua pergi ke Amerika Serikat. Banyak liku-liku kehidupan yang mereka lalui sebagai pengantin baru. Di samping menyelesaikan studinya, kedua pasangan ini juga menjadi koresponden Majalah Derap sekaligus menjadi wartawan salah satu media di Amerika. Mereka berdua mengalami berbagai pengalaman yang menarik untuk disimak pula, seperti berburu diskon barang bekas dan membeli buku.

    Tinggal di Amerika membuat Alif mengenal beberapa orang baru, mulai dari sesama alumni Pondok Madani, sampai penduduk Indonesia yang menjadi imigran di sana. Mas Garuda, imigran yang berjuang untuk menafkahi keluarga dan mencari biaya untuk menikah, bahkan sudah menganggap Alif sebagai adiknya sendiri. Namun naas, Peristiwa 11 September 2001 membuat Alif harus berpisah dengan Mas Garuda.

    Nasihat dari Kiai Rais membuat Alif kembali ke Indonesia. Walaupun sudah mendapatkan ganjaran setimpal atas pengalaman hidupnya yang naik turun bak ombak di samudra, ia tetap membulatkan tekadnya untuk pulang ke Tanah Air. Karena baginya, menjadi manusia adalah untuk menghambakan diri kepada Sang Pencipta sekaligus khalifah di muka bumi.

     Di dalam novel ini termuat ungkapan berbahasa Minang yang membuat pembaca tahu bahwa salah satu bahasa daerah asli Indonesia tersebut dapat diselipkan di dalam alur cerita novel dan tidak kalah bagusnya dengan sisipan bahasa asing. Selain itu, alur cerita yang dibuat juga melibatkan kondisi nyata dunia pada waktu yang bersesuian, misalnya krisis moneter 1998 dan peristiwa 11 September 2001. Pada novel ini, juga dimuat berbagai macam kata mutiara yang berasal dari bahasa Arab, seperti man saara ala darbi washala yang artinya, siapa yang berjalan di jalannya akan sampai  di tujuan. Kata mutiara berbahasa Arab memang ringkas namun sarat akan makna.

    Sayangnya, kutipan dalam bahasa Minang tersebut tidak disertai dengan arti dalam bahasa Indonesianya sehingga bagi pembaca yang ingim tahu arti dari kutipan tersebut harus mencari tahu dari sumber lainnya. Lalu, penggunaan kata-kata yang sederhana membuat novel ini kurang menarik  bagi pembaca yang ingin memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Warna sampul depan buku yang dominan satu warna saja membuat novel ini kurang menarik dari sisi luarnya.

      Kisah Alif dengan liku-liku kehidupan yang dialaminya hingga menjadi sosok yang bisa berkeliling dunia sembari bekerja ini bisa menjadi inspirasi bagi pembaca novel Rantau 1 Muara. Meskipun terdapat kekurangan layaknya karya penulis pada umumnya, buku ini tetap cocok dibaca untuk anak muda, terutama yang sedang menuntut ilmu di pondok pesantren, untuk tetap memperjuangkan impian sekaligus alternatif untuk mengambil pelajaran hidup dari seorang santri yang bisa berkelana ke luar negeri. Tentunya, dengan tidak melupakan hakikat manusia sebagai hamba dari Tuhannya seperti subjudul terakhir dari novel ini, "Muara dari Segala Muara", semua manusia akan kembali kepada Sang Penciptanya, seperti yang tertulis dalam penggalan epilog novel ini.

“ … Sejauh mana pun aku mengembara, keseluruhan hidup pada hakikatnya adalah perantauan. Suatu saat akan kembali berjalan pulang ke asal. Kembali ke satu, yang esensial, yang awal. Yaitu menghamba dan mengabdi. Kepada Sang Pencipta.

        Hari itu pula, di atas pesawat yang menerbangkan aku dari Washington DC ke Jakarta, aku rosok ujung lipatan dompetku dan aku tarik sehelai kertas tua berlipat-lipat kecil. Tiga barisan tulisan tangan itu masih jelas tertera di kertas yang menguning ini. Tiga baris yang menjadi dayung-dayung hidupku selama ini

Man jadda wajada

Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil

Man shabara zhafira

Siapa yang bersabar akan beruntung

Man saara ala darbi washala

Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan.”

         Selamat membaca, salam literasi!

Angels Like You

  Mmm, mmm, mmm Flowers in hand, waiting for me Every word in poetry Won't call me by name, only baby The more that you give, the less t...