Museum Samanhudi di Kelurahan Sondakan, Laweyan, Solo, Jumat (22/9) mendapat kunjungan dari mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) yang tergabung dalam Sekolah Pengurus Bangsa (SPB) 2017. Kunjungan tersebut adalah bagian dari acara moving class (mocas) ke-2 dalam serangkaian acara sekolah yang dikelola oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNS. Museum ini tergolong unik, karena berada di ruang tamu Kantor Kelurahan Sondakan.
Setelah tiba di museum yang berada di selatan Jalan K.H. Samanhudi ini, rombongan siswa SPB 2017 disambut oleh pihak keamanan yang bertugas di kantor kelurahan. “Samanhudi adalah tokoh yang sudah memimpin perusahaan orang tuanya pada usia mudanya,” papar Bapak Suwardi ketika menjadi pembicara pertama di pendopo kantor kelurahan. Menurut bapak yang runtut menyampaikan kisahnya ini, ada beberapa perbedaan pendapat mengenai waktu berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI). Dalam kesempatan itu juga, Bapak Suwardi juga menjelaskan beberapa tokoh Kemerdekaan Indonesia, seperti kisah Ir. Soekarno dan K.H. Agus Salim yang ternyata merupakan murid dari Haji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto.“Samanhudi adalah tokoh yang mempunyai kesadaran bahwa bangsanya dianggap sebagai kalangan rendah. Ia memperjuangkan harga diri bangsanya ketika penjajah memberikan kasta terendah untuk penduduk pribumi,” kata Bapak Suwardi.
Tak jauh dari lokasi museum, terdapat berbagai tempat historis peninggalan Keraton Surakarta dan Pajang. Di dekat Kali Kabangan, sungai yang membatasi Kota Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo, ada sebuah masjid yang unik yang bernama Masjid Laweyan atau Masjid Kiai Ageng Deni. Keunikan dari masjid ini adalah struktur atapnya mirip dengan pura dan tempatnya yang agak tinggi. Masjid yang dibangun sejak tahun 1546 adalah bukti bahwa masyarakat zaman dahulu bisa hidup berdampingan dengan damai. Pada awalnya, masjid ini adalah pura. Seiring dengan adanya penduduk yang beragam Islam, bangunan yang didirikan di tanah seluas 1602 m2 digunakan secara bergantian sebagai tempat ibadah. Setelah pemeluk agama Hindu menghilang dari daerah tersebut, barulah bangunan ini difungsikan sebagai masjid sampai sekarang.
Di dekat Masjid Laweyan, dibangun sebuah jembatan yang berfungsi sebagai penghubung antara Keraton Surakarta dengan Keraton Pajang melalui jalur darat. Sebelum dibangunnya jembatan, masyarakat menggunakan sungai sebagai jalur transportasi. Tidak jauh dari Masjid Laweyan, terdapat makam K.H. Samanhudi. Makam tersebut terletak di Desa Banaran, Grogol, Sukoharjo. Di kompleks pemakaman itu juga terdapat makam istri pertama K.H. Samanhudi dan pejuang kemerdekaan.
Dengan keberadaan K.H. Samanhudi sebagai tokoh sejarah Indonesia, Kelurahan Sondakan memproklamirkan diri sebagai kelurahan yang mempunyai potensi wisata historis. Menurut Bapak Aziz, Museum Samanhudi adalah satu-satunya museum di Jawa Tengah yang dikelola oleh pihak swasta. Museum ini berisi berbagai gambar yang memuat proses pembentukan SDI dan gerakannya Selain itu, Museum Samanhudi berisi sepenggal kisah hidup K.H. Samanhudi dan beberapa dokumentasi kegiatan pembuatan batik di Laweyan.
Setelah tiba di museum yang berada di selatan Jalan K.H. Samanhudi ini, rombongan siswa SPB 2017 disambut oleh pihak keamanan yang bertugas di kantor kelurahan. “Samanhudi adalah tokoh yang sudah memimpin perusahaan orang tuanya pada usia mudanya,” papar Bapak Suwardi ketika menjadi pembicara pertama di pendopo kantor kelurahan. Menurut bapak yang runtut menyampaikan kisahnya ini, ada beberapa perbedaan pendapat mengenai waktu berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI). Dalam kesempatan itu juga, Bapak Suwardi juga menjelaskan beberapa tokoh Kemerdekaan Indonesia, seperti kisah Ir. Soekarno dan K.H. Agus Salim yang ternyata merupakan murid dari Haji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto.“Samanhudi adalah tokoh yang mempunyai kesadaran bahwa bangsanya dianggap sebagai kalangan rendah. Ia memperjuangkan harga diri bangsanya ketika penjajah memberikan kasta terendah untuk penduduk pribumi,” kata Bapak Suwardi.
Tak jauh dari lokasi museum, terdapat berbagai tempat historis peninggalan Keraton Surakarta dan Pajang. Di dekat Kali Kabangan, sungai yang membatasi Kota Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo, ada sebuah masjid yang unik yang bernama Masjid Laweyan atau Masjid Kiai Ageng Deni. Keunikan dari masjid ini adalah struktur atapnya mirip dengan pura dan tempatnya yang agak tinggi. Masjid yang dibangun sejak tahun 1546 adalah bukti bahwa masyarakat zaman dahulu bisa hidup berdampingan dengan damai. Pada awalnya, masjid ini adalah pura. Seiring dengan adanya penduduk yang beragam Islam, bangunan yang didirikan di tanah seluas 1602 m2 digunakan secara bergantian sebagai tempat ibadah. Setelah pemeluk agama Hindu menghilang dari daerah tersebut, barulah bangunan ini difungsikan sebagai masjid sampai sekarang.
Di dekat Masjid Laweyan, dibangun sebuah jembatan yang berfungsi sebagai penghubung antara Keraton Surakarta dengan Keraton Pajang melalui jalur darat. Sebelum dibangunnya jembatan, masyarakat menggunakan sungai sebagai jalur transportasi. Tidak jauh dari Masjid Laweyan, terdapat makam K.H. Samanhudi. Makam tersebut terletak di Desa Banaran, Grogol, Sukoharjo. Di kompleks pemakaman itu juga terdapat makam istri pertama K.H. Samanhudi dan pejuang kemerdekaan.
Dengan keberadaan K.H. Samanhudi sebagai tokoh sejarah Indonesia, Kelurahan Sondakan memproklamirkan diri sebagai kelurahan yang mempunyai potensi wisata historis. Menurut Bapak Aziz, Museum Samanhudi adalah satu-satunya museum di Jawa Tengah yang dikelola oleh pihak swasta. Museum ini berisi berbagai gambar yang memuat proses pembentukan SDI dan gerakannya Selain itu, Museum Samanhudi berisi sepenggal kisah hidup K.H. Samanhudi dan beberapa dokumentasi kegiatan pembuatan batik di Laweyan.
Kunjungan ke tempat yang memuat unsur sejarah ini diharapkan menumbuhkan pernyataan bahwa manusia harus banyak belajar dari sejarah, seperti ungkapan Bung Karno “JAS MERAH” jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Ayo melek sejarah!